top of page

Desa Adat Jadi Ujung Tombak, Tepatkah?

Melihat masih banyaknya korban jiwa dari Covid-19 membuat gubernur Bali dan Walikota/Bupati se-Bali menetapkan desa adat sebagai garda terdepan penanggulangan wabah Covid-19 di provinsi Bali. Tepatkah pemerintah menjadikan desa adat sebagai tenang pencegahan Covid-19?


Meski tanpa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pihak pemerintah Bali tetap optimis untuk menekan laju penyebaran Covid-19 dengan cara mengikuti arahan dari pemerintah pusat. Hal ini juga dapat dilihat dari Perlibatan Desa Adat yang dituangkan dalam Keputusan Bersama dengan Nomor 472/1571/PPDA/DPMA dan Nomor 05/SK/MDA-Prov Bali/III/2020. Keputusan ini ditetapkan tanggal 28 Maret 2020 dan ditandatangani Gubernur Bali Wayan Koster dan Majelis Agung MDA Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet.

Keputusan bersama ini berisi tentang dijadikannya Desa Adat sebagai pilar utama pemerintah Provinsi Bali untuk mendisiplinkan warganya. Satgas Gotong Royong Pencegahan Covid-19 Berbasis Desa Adat yang baru dibentuk ini sebanyak 1.495 dan Desa Adat di Bali yang tersebar di sembilan kabupaten/kota se-Bali akan terlibat penuh membantu pemerintah dalam menanggulangi dan mencegah penyebaran virus Corona.

Melihat hal ini, tercetuslah ide dari dua siswi SMA Negeri 3 Denpasar yakni Yadnya Cakra Cyntia Dewi (17) dan Ni Putu Sasti Wulandari Dwipa (18) untuk membuat penelitian dengan judul Desa Adat Sebagai Ujung Tombak Penanggulangan Penyabaran Covid-19 di Bali Antara Beban Atau Kebanggaan. Penelitian yang diperlombakan di Kopsi (Kompetensi Penelitian Siswa Indonesia) 2020 ini mengangkat rumusan masalah mengenai Gubernur Bali dan Walikota/Bupati se-Bali menetapkan desa adat sebagai garda terdepan penanggulangan wabah Covid-19 di Provinsi Bali. Yang dimana, kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra dikalangan prajuru adat dan tokoh masyarakat serta akademisi di Bali.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei- September 2020, dan dari penelitian tersebut terlihat sebanyak 70,47% responden mengakui bahwa penanggulangan Covid-19 merupakan tanggung jawab yang berat bagi desa adat dan kurang dari setengah responden yaitu sebanyak 44,27% responden mengatakan desa adat tidak merasa terbebani dengan kebijakan pemerintah yang menjadikan desa adat sebagai temeng dalam pencegahan Covid-19.

Penelitian ini juga memuat hasil penelitian bahwa 57,31% responden menganggap krama adat lebih patuh dalam mengikuti protokol kesehatan ketika diarahkan oleh desa adat. Sebanyak 60,87% responden mengakui krama adat sudah mematuhi protokol kesehatan yang dikeluarkan desa adat dan yang terakhir, 69,17% responden menganggap penanggulangan Covid-19 merupakan salah satu bentuk ngayah.

Dari data yang di dapat dari hasil wawancara langsung dan tidak langsung, penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan Pemerintah Bali dan pemerintah tingkat kota/kabupaten dengan menempatkan desa adat sebagai garda terdepan dalam penanggulangan penyebaran Covid-19 di Bali berdasarkan fungsi dan peran desa adat sesungguhnya adalah kurang tepat. Seharusnya secara hukum nasional justru desa dinas sebagai garda terdepan dan penanggulangan wabah Covid 19 di Bali. Dengan menempatkan desa adat sebagai garda terdepan di masyarakat itu membuat desa adat merasa berat dan agak terbebani dibandingkan munculnya rasa bangga.

Osen Antropologi Universitas Warmadewa (Unwar) I Ngurah Suryawan menilai, desa adat memiliki keterbatasan kapasitas untuk mendata PMI dan orang yang baru datang dari luar Bali salah kaprah. Kebijakan ini sebenarnya menunjukkan bagaimana politik yang dicerminkan oleh Gubernur Koster. Pemerintahan ini menjadikan desa adat sebagai bemper dalam penanganan wabah Covid-19. Menurutnya desa adat memiliki keterbatasan kapasitas untuk pendataan seperti ini, bukan hanya terbatas mengenai Sumber Daya Manusia (SDM) dan pendanaan, tapi yang lebih penting adalah soal standar yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam penanganan pendataan PMI ini. “Bagus. Memang salah alamat menjadikan desa adat sebagai ujung tombak, bukan desa dinas. Alasannya apa? Pragmatisme seperti hasil penelitian ini. Tapi jika dirunut akarnya, sejarah penguasaan negara terhadap desa adat sudah berlangsung lama dan sarannya desa adat harus lebih kritis melihat hal ini,” ujar Suryawan. (ekn)

31 views0 comments
bottom of page